Berita Papua, Keerom — Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Keerom menggelar mediasi sengketa tanah seluas 3 hektar di Kampung Bibiosi, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua belum menemui titik terang.
Masyarakat Adat menolak klaim kepemilikan tanah seluas 3 hektar di Kampung Bibiosi, Distrik Arso oleh keluarga mendiang Rahman Baco.
Tanah tersebut diklaim sebagai pembayaran fee pemasangan jaringan listrik PLN tahun 2010-2011, namun masyarakat menyatakan bahwa dokumen kepemilikan yang diajukan diduga palsu.
Mediasi itu dihadiri oleh para pemilik ulayat, BPN Keerom, PLN, LBH Papua, perwakilan Distrik Arso dan masyarakat adat digelar diruang rapat BPN Keerom, Kamis (26/6/25).

Kuasa hukum masyarakat adat Bate, Festus Ngoranmele, Direktur LBH Papua mengapresiasi langkah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Keerom yang memediasi sengketa tanah masyarakat adat Bate/Kwimi dengan ahli waris mendiang Rahman Baco.
Ngoranmele memaparkan kronologi sengketa:
1. Kesepakatan 2010: Alm. Rahman Baco menawarkan pemasangan listrik genset dengan imbalan 5 hektar tanah dari Bate dan 5 hektar dari Kwimi. Masyarakat menyetujui secara lisan.
2. Pelanggaran oleh Rahman Baco: Alih-alih genset, ia justru memasang jaringan listrik PLN ilegal tanpa izin. PLN kemudian membongkar instalasi tersebut dan memanggil Rahman Baco untuk dimintai pertanggungjawaban.
3. Wanprestasi: Kesepakatan batal karena Rahman Baco gagal memenuhi kewajiban (pemasangan genset). Masyarakat tidak melaporkan wanprestasi saat itu karena Rahman Baco tidak melanjutkan klaim tanah hingga meninggal (2016).
4. Klaim Ahli Waris (2017): Anak-anak Rahman Baco tiba-tiba mengklaim 100 hektar tanah dengan menunjukkan Surat Pernyataan (2010) dan 10 Sertifikat Hak Milik (SHM) terbit 2006 beralamat di Arso Kota. Masyarakat menolak klaim ini, menyatakan tidak pernah melepaskan tanah.
Namun LBH Papua menyoroti kejanggalan dokumen yang diajukan ahli waris:
– SHM terbit 2006, padahal kesepakatan listrik baru terjadi 2010.
– Alamat sertifikat (Arso Kota) tidak sesuai lokasi sengketa (Bibiosi/Kwimi).
– Hasil verifikasi BPN: Kantor Pertanahan Keerom dan Provinsi Papua telah mengonfirmasi SHM tersebut tidak sah dan bukan produksi resmi.
“Kami minta BPN Provinsi segera menarik dan membatalkan SHM-SHM ini secara publik untuk mencegah penyalahgunaan lebih lanjut,” tegas Ngoranmele.
1. BPN harus mengambil keputusan tegas untuk melindungi hak masyarakat adat.
2. Transparansi proses mediasi, melibatkan semua pihak secara objektif.
3. Penyelesaian hukum jika klaim tanah terbukti melanggar hak ulayat.
LBH Papua menilai mediasi tersebut sebagai sebagai langkah positif, namun perlunya adanya tindak lanjut.
“Masyarakat adat tidak boleh dirugikan oleh dokumen-dokumen tidak sah. Ini ujian bagi BPN untuk menegakkan keadilan agraria,” pungkas Ngoranmele.

Sementara itu, Kepala Seksi Penanganan Sengketa dan Pengendalian Pertanahan BPN Keerom, Ferdi Alfisnura, menyatakan bahwa pihaknya hanya memfasilitasi permohonan masyarakat adat terkait sengketa tersebut.
“Kami bertugas memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, termasuk dalam menangani persoalan sengketa tanah,” ujar Ferdi.
Ferdy menjelaskan, sengketa tersebut melibatkan masyarakat adat Kampung Bibiosi dan Kampung Bate dengan almarhum Rahman Baco. Saat ini, terdapat sertifikat tanah yang diduga telah terbit atas nama ahli waris.
Ferdi menjelaskan, penanganan kasus ini merujuk pada surat-surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Keerom dan Kepala Kantor Wilayah.
“Kami berpedoman pada kebijakan pimpinan dan melaksanakan arahan yang telah ditetapkan,” tegasnya.
Seusia mediasi, pihak perwakilan Keluarga mendiang Rahman Baco enggan memberikan komentar lebih lanjut saat mau diwawancarai.
Mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa saat ini telah mencapai tahap kesimpulan. Pelapor, Atenius Bate, menyatakan tidak ingin melanjutkan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Sementara itu, pihak terlapor tetap pada pendirian untuk tetap bertahan dilokasi sengketa.
(Renaldo Tulak)











