Berita Papua, Jayapura — Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan tegas mengungkapkan adanya pengabaian terhadap norma yang mengatur keterwakilan perempuan minimal 30% dalam seleksi anggota DPRK melalui mekanisme pengangkatan di 1 kota dan 8 kabupaten di Provinsi Papua.
Kejadian ini, menurut Pokja Perempuan, bukan hanya kelalaian administratif, tetapi juga sebuah bentuk konspirasi politik yang menghalangi kemajuan perempuan Papua di ranah politik, khususnya dalam pengambilan keputusan di tingkat legislatif daerah.
Natalia Wona, Ketua Pokja Perempuan MRP, menegaskan bahwa aturan yang tercantum dalam Pasal 75 ayat 3 PP 106 Tahun 2024 mengharuskan setiap tahapan seleksi anggota DPRK untuk memeriksa dokumen calon secara seksama, dengan memperhatikan unsur keterwakilan perempuan.
“Norma ini jelas, proses verifikasi dan validasi calon anggota DPRK harus mencakup keterwakilan perempuan. Ini adalah mandat hukum yang harus dipatuhi,” ujar Wona.
Lebih lanjut, Pasal 76 ayat 4 dari PP 106 Tahun 2024 juga menegaskan bahwa dalam setiap usulan seleksi anggota DPRK, harus memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Aturan ini diperkuat oleh Pasal 2 ayat 3 dan 4 dalam Pergub Nomor 43 Tahun 2024, yang mengatur jumlah anggota DPRK yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan agar mencakup keterwakilan perempuan minimal sesuai ketentuan yang ada.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan pelanggaran terhadap regulasi tersebut. Di Kota Jayapura, yang memiliki 9 kursi DPRK melalui pengangkatan, hanya ada 1 perempuan yang terpilih, padahal seharusnya ada antara 3 hingga 4 perempuan yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan.
Di Kabupaten Jayapura, dari 8 kursi yang tersedia, hanya 1 perempuan yang lolos, sementara di Kabupaten Waropen, yang seharusnya memiliki 1 hingga 2 perempuan dari 5 kursi, tidak ada satu pun perempuan yang terpilih.
“Pelanggaran terhadap aturan yang jelas ini mencerminkan ketidakkonsistenan dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Pansel seharusnya memastikan bahwa keterwakilan perempuan 30% terpenuhi pada setiap tahapan seleksi, mulai dari verifikasi administrasi, tes tertulis, hingga wawancara,” tegas Natalia Wona.
Pokja Perempuan MRP Papua mendesak Menteri Dalam Negeri dan PJ Gubernur Papua untuk segera membatalkan hasil seleksi yang diumumkan oleh Pansel DPRK di 8 kabupaten dan 1 kota tersebut, karena jelas tidak memenuhi ketentuan kuota keterwakilan perempuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Ini bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga soal penghormatan terhadap hak perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik. Kami melihat ini sebagai bentuk diskriminasi dan konspirasi politik yang merugikan eksistensi perempuan Papua,” tambah Wona.
Pokja Perempuan MRP Papua juga mengingatkan bahwa pengabaian keterwakilan perempuan dalam seleksi anggota DPRK dapat menghambat kemajuan perempuan Papua dalam berperan aktif di parlemen.
Untuk itu, mereka mendesak pemerintah agar segera melakukan langkah tegas untuk memastikan bahwa keterwakilan perempuan dalam seleksi anggota DPRK dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
“Proses seleksi yang transparan, adil, dan menghormati aturan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa perempuan mendapatkan ruang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan daerah di Papua. Ini juga adalah langkah untuk memastikan perjuangan perempuan dalam dunia politik tetap berlanjut,” tutup Natalia Wona.
Pokja Perempuan MRP Papua berharap bahwa di masa depan, seleksi anggota DPRK di Papua akan lebih terbuka dan adil, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah dan dalam pengambilan kebijakan politik.
(Roy Hamadi)