Berita Papua, Jayapura — Eirene Waromi, peserta seleksi anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan periode 2024-2029 yang tidak lolos, mengungkapkan fakta atas dugaan pelanggaran dan kecurangan dalam proses seleksi.
“Kami menemukan berbagai kejanggalan dan kecurangan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum di 8 kabupaten dan 1 kota,” ungkap Waromi mewakili Kelompok Perempuan Peduli Kursi Pengangkatan DPR Provinsi Papua, di Jayapura, Rabu (15/1/25).
Menurutnya, perjuangan ini dilakukan guna mempertahankan hak-hak politik yang terabaikan dalam proses seleksi.
Bahkan Waromi juga mengungkap beberapa temuan pelanggaran yang ditemukan yang berpotensi dapat diproses hukum.
“Kami merasa perlu memperjuangkan hak-hak politik yang diabaikan dan dikotori dalam proses ini,” tegasnya.
Sementara itu, Sarah Yambeyapdi, peserta seleksi anggota DPR Papua mekanisme pengangkatan periode 2024-2029 juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses seleksi yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel).
Meskipun kata dia, Pansel mengklaim telah bekerja secara profesional.
“Pansel tidak konsisten dalam melaksanakan tahapan dan jadwal seleksi. Ini dibuktikan dengan jadwal yang terus mengalami perubahan,” ungkap Yambeyapdi juga mewakili kelompok perempuan peduli kursi pengangkatan DPR Papua.
Dalam temuannya, Yambeyapdi memaparkan beberapa kejanggalan, termasuk tidak adanya pendampingan hasil rekapitulasi musyawarah DAS di tingkat kabupaten.
Lebih mengejutkan lagi, ungkap dia, beberapa peserta yang tidak memiliki rekomendasi untuk mengikuti proses musyawarah adat yang merupakan syarat mutlak justru lolos administrasi hingga tahap pengumuman.
“Pansel juga mengumumkan hasil tanpa disertai ranking peserta dalam surat keputusannya,” tambahnya.
Terkait keterwakilan perempuan, Yambeyapdi menyebut bahwa 30% kuota perempuan yang lolos dinilai belum memiliki pengalaman dan rekam jejak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
“Hal ini sangat diskriminatif dalam penilaian dan berpotensi menimbulkan kecurangan,” tegasnya.
“Proses yang jujur dan bersih akan melahirkan hasil yang berintegritas. Sebaliknya, proses yang tidak jujur dan bersih menunjukkan rendahnya kualitas dan integritas,” pungkas Yambeyapdi.
Beatrix Wanane, mantan anggota KPU Provinsi Papua yang kini menjadi peserta seleksi anggota DPR Papua mekanisme pengangkatan juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses seleksi yang sedang berlangsung.
“Tidak ada peringkat yang dikeluarkan dalam proses seleksi ini. Padahal seharusnya menurut petunjuk Pansel, ada mekanisme perangkingan yang terbuka untuk publik. Kami sebagai peserta bahkan tidak tahu berada di peringkat berapa,” ungkap Wanane.
Berbekal pengalamannya sebagai mantan anggota KPU yang pernah menangani seleksi di 28 kabupaten dan 1 kota di Papua, Wanane menegaskan bahwa proses seleksi kali ini sangat jauh dari prosedur yang seharusnya.
“Seharusnya setelah proses verifikasi administrasi, tes tertulis, dan wawancara, ada perangkingan untuk menentukan tiga nama besar dari setiap daerah pemilihan,” jelasnya.
Wanane juga menyoroti adanya praktik diskriminasi dalam proses seleksi.
“Ada peserta yang ditolak dengan alasan anak peranakan atau memiliki garis matrilineal. Tunjukkan pasal mana yang menyatakan bahwa orang dengan garis matrilineal tidak boleh ikut seleksi,” bebernya.
Khusus untuk Daerah Pemilihan Kepulauan Yapen, Wanane menilai penerapan kuota 30% perempuan tidak tepat sasaran. “Kuota 30% tidak jatuh pada orang yang tepat sesuai prosedur dan mekanisme,” pungkasnya.
Kelompok perempuan peduli kursi pengangkatan DPR Papua tersebut juga mengeluarkan sejumlah tuntutan diantaranya:
1. Meminta Mendagri meninjau kembali, mengevaluasi, dan membatalkan hasil keputusan Pansel.
2. Mendesak PJ Gubernur memfasilitasi pertemuan antara Pansel dengan para peserta.
3. Meminta penundaan pelantikan hingga penyelesaian perkara
4. Menuntut MRP dan DPR mengawasi pelanggaran dan membatalkan SK pengumuman hasil seleksi
5. Meminta aparat penegak hukum menyelidiki dugaan suap dan keterangan palsu.
(Renaldo Tulak)