Berita Papua, Jayapura — Dengan membawa Piring resa-resa 21 buah, Guci 2 buah, piring gantung 110 buah, piring makan 96 buah, piring mangkok 4 buah, manik-manik 2 ikat (1 ikat berisi 24 buah), sejumlah uang peminangan dan emas kawin serta 3 buah Kain Timur gulungan besar, keluarga besar Jeferson Neker Aragay-Momot (Jefri) melakukan peminangan sekaligus pembayaran emas kawin terhadap calon istri Elsa Robeka Merauje-Korwa (Elsa).
Prosesi peminangan atau lamaran oleh Keluarga besar Aragay-Momot dilakukan ke kediaman Elsa Robeka Merauje-Korwa di Tanah Hitam, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Sabtu siang (10/5/2025).
Thontji Wolas Krenak, perwakilan keluarga Aragay-Momot, menjelaskan bahwa prosesi ini melibatkan 2 suku besar, yakni Tehit dari Kabupaten Sorong Selatan dan Bira dari Imeko (Inanwatan, Metaman Kais, Kokoda).

“Kami datang dari wilayah budaya Domberai untuk meminang Elsa dari wilayah Teluk Saireri dan Tabi,” ujarnya.
Dalam adat peminangan ini, Thontji menjelaskan bahwa keluarga Momot dan Aragay membawa 3 alat peminangan sebagai emas kawin yakni;
1. Piring (Ban/Bansu bahasa Biak) – sebagai simbol penghormatan bagi keluarga dari Teluk Saireri.
2. Kain Timur (Not Hok dalam bahasa Tehit) – sebagai bagian dari tradisi suku Tehit.
3. Manik-manik – memenuhi nilai adat dari Tabi, Jayapura, mengingat ibu Elsa berasal dari Tabi.

Selain itu, disertakan juga sejumlah uang adat, meskipun Thontji menekankan bahwa nilai utama dalam prosesi ini adalah untuk mengikat tali persaudaraan dari keluarga ke-2 pasangan Jefri dan Elsa.
“Bagi kami, jumlah materi tidak sepenting menjaga tali persaudaraan. Di mana pun kita berada, kita akan selalu mengenal asal-usul keluarga,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya Peran Om (paman) dalam struktur keluarga Papua.
“Jika orang tua sudah tiada, Om bertindak sebagai wali yang bertanggung jawab atas keponakannya,” jelas Thontji.
Hal ini terlihat saat keluarga dari Merauje menyerahkan noken (tas tradisional) yang berisi berbagai simbol adat, seperti kain, manik-manik, dan piring.
Kata Thontji, Noken, bagi masyarakat Papua, bukan sekadar tas, melainkan simbol kekuatan dan kehidupan.
“Noken adalah dapur setiap keluarga. Perempuan yang membawanya adalah penopang kehidupan. Sementara Koba-Koba (payung tradisional) melambangkan perlindungan bagi keluarga,” ujarnya.
Ia menilai bahwa prosesi adat ini mengingatkan kembali pada kekayaan budaya material Papua yang memiliki makna mendalam.
“Setiap benda adat memiliki nilai dan kekuatan tersendiri bagi 250 suku di Tanah Papua, yang terbagi dalam 7 wilayah budaya,” pungkas Thontji yang juga merupakan wartawan senior.
Albert Merauje, selaku perwakilan keluarga Merauje-Korwa menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan atas kelangsungan adat istiadat tersebut dan pentingnya melestarikan nilai-nilai adat sebagai warisan leluhur yang sakral.
“Kita memiliki sekitar 250 suku dengan 7 wilayah adat budaya, masing-masing memiliki kekhasannya, tetapi intinya sama, adat menciptakan perdamaian, kebersamaan, dan kasih sayang,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa filosofi 3A (Allah, Alam, Adat) yang menjadi pegangan hidup masyarakat Papua.
“A yang pertama itu Allah kita taruh di dalam pikiran kita. A yang kedua itu alam semesta dan A yang ketiga itu adat. Adat ini adalah wakil Allah,” beber Albert.
“Adat adalah wakil Allah di bumi. Sebelum ada Injil dan pemerintahan, adat sudah mengatur hubungan manusia dengan alam semesta,” tegasnya.
Albert menegaskan bahwa prosesi peminangan bukan sekadar transaksi materi, melainkan penghargaan terhadap kehidupan.
“Kita meminang karena melihat nilai seorang perempuan yang dibesarkan dengan air susu ibu. Ini soal menghargai manusia, bukan nominal uang,” katanya.
Ia mengibaratkan nilai uang susu adalah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu (mama), sementara emas kawin lainnya diserahkan sesuai kesepakatan adat.
“Dulu kami menggunakan manik-manik bernilai tinggi. Sekarang, mungkin uang, tetapi esensinya tetap sama, menghargai jerih payah seorang ibu,” imbuhnya.
Dorongan Regulasi untuk Pelestarian Adat
Namun sebagai Legislator Papua, Albert menjelaskan bahwa fraksi Nasdem di DPR Papua berkomitmen mendorong Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) atau Perdasi (Peraturan Daerah Istimewa) terkait pelestarian budaya.
“Kami ingin ada payung hukum untuk melindungi adat, mulai dari emas kawin hingga pengelolaan tanah adat,” ucapnya.
Ia mengkhawatirkan pergeseran budaya akibatnya perkawinan silang dan pengaruh luar.
“Kita harus pastikan adat, bahasa, tarian, dan tradisi tidak punah. Ini warisan leluhur yang harus bertahan hingga akhir zaman,” tegas Albert.
Albert menekankan bahwa kesalahan dalam prosesi adat bisa berakibat fatal.
“Jika salah di awal, kita tidak akan menjadi berkat,” ungkap Albert mengutip keyakinan leluhur.
Anggota DPRP Komisi IV itu berharap pemerintah dan masyarakat bersama-sama menjaga adat-istiadat.
“Dengan regulasi yang jelas, kita bisa mengalokasikan anggaran untuk kegiatan adat seperti ini, sehingga tidak tergerus zaman,” pungkas Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPRP.
Diketahui, Jeferson Neker Aragay-Momot merupakan putra pertama dari pasangan Hendrikus Momot dan Agustina Aragay, sedangkan Elsa Robeka Merauje-Korwa adalah putri bungsu dari pasangan almarhum Abraham Korwa dan Sarlota Merauje.
(Renaldo Tulak)