Opini

Perang Tradisional Papua: Warisan Budaya Yang Mengandung Nilai-nilai Humaniter

103
×

Perang Tradisional Papua: Warisan Budaya Yang Mengandung Nilai-nilai Humaniter

Sebarkan artikel ini

Oleh: Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, SH,. MH

(Dok. LBH Papua)

Festival Budaya Lembah Balim (FBLB) ke-32 yang baru saja digelar di Kabupaten Jayawijaya, Papua, membuka mata kita pada sebuah paradoks (pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum atau kebenaran umum). Menariknya di tengah tradisi perang, ternyata menyimpan nilai-nilai kemanusiaan yang begitu mendalam.

Atraksi perang-perangan yang menjadi daya tarik utama festival ini bukan hanya sekadar tontonan biasa, melainkan jendela untuk memahami kerumitan budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Papua.

Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dalam tulisannya menjelaskan bahwa perang tradisional Papua bukanlah tindakan barbarisme tanpa aturan. Sebaliknya, ini adalah manifestasi dari sistem hukum adat yang rumit dan sarat nilai.

Yang mengejutkan, banyak dari aturan perang ini sejalan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang baru dimodifikasi dalam Konvensi Jenewa 1949.

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa perang tradisional dalam konteks Papua bukanlah pilihan pertama dalam penyelesaian konflik. Ini adalah alternatif terakhir yang hanya digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar seperti pembunuhan atau sengketa tanah.

Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Papua memiliki hierarki (urutan tingkatan atau jenjang jabatan) penyelesaian masalah yang mengutamakan cara-cara damai sebelum mengambil langkah ekstrem.

Lebih jauh lagi, perang tradisional Papua memiliki batasan waktu dan tujuan yang jelas. Ini bukan perang tanpa akhir, melainkan konflik yang diatur sedemikian rupa sehingga ada kejelasan kapan ia harus berakhir. Aspek ini mencerminkan kebijaksanaan dalam mengelola konflik, mencegah pertikaian berkepanjangan yang bisa menghancurkan struktur sosial masyarakat.

Yang paling mengesankan adalah adanya aturan perang yang melindungi warga sipil, khususnya perempuan dan anak-anak. Larangan untuk menjarah rumah, hasil bumi, dan ternak milik lawan, serta pantangan untuk menyerang musuh yang sudah tak berdaya, menunjukkan adanya etika perang yang menjunjung tinggi martabat manusia. Bahkan, ada tradisi untuk mengadopsi anak-anak yatim dari pihak lawan, sebuah praktik yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Mekanisme perdamaian adat yang menandai berakhirnya konflik juga patut diapresiasi. Ritual perdamaian yang dilakukan oleh para tetua adat bukan hanya mengakhiri peperangan secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan sosial. Larangan untuk mengungkit kembali pertikaian yang sudah diselesaikan mencerminkan komitmen untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Nilai-nilai ini, yang telah dipraktikkan oleh masyarakat adat Papua jauh sebelum kedatangan bangsa asing, menunjukkan bahwa konsep hak asasi manusia dan hukum humaniter bukanlah monopoli peradaban Barat. Ini adalah bukti nyata bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan bisa muncul secara independen dalam berbagai budaya di seluruh dunia.

Festival Budaya Lembah Balim, dengan demikian, bukan sekadar ajang pariwisata atau pelestarian budaya. Ini adalah forum pembelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana sebuah masyarakat tradisional dapat mengembangkan sistem hukum yang kompleks dan humanis dalam konteks konflik bersenjata. Di era di mana perang masih menjadi realitas di berbagai belahan dunia, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kearifan lokal masyarakat adat Papua ini.

Bertepatan dengan perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus, festival ini juga menjadi pengingat akan pentingnya mengakui dan menghargai kontribusi masyarakat adat dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik. Tradisi perang adat Papua membuktikan bahwa masyarakat adat bukan hanya penjaga warisan budaya, tetapi juga pemilik kearifan yang relevan dengan tantangan global kontemporer.

Sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam memandang masyarakat adat. Alih-alih melihat mereka sebagai objek pelestarian atau “sisa-sisa” peradaban kuno, kita perlu mengakui peran mereka sebagai mitra dalam mencari solusi untuk masalah-masalah global, termasuk dalam hal resolusi konflik dan penegakan hak asasi manusia.

Pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk mempelajari lebih dalam kearifan lokal semacam ini, mengintegrasikannya dengan pengetahuan modern, dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam pengembangan kebijakan dan hukum. Ini bukan hanya tentang melestarikan warisan budaya, tetapi juga tentang memanfaatkan kebijaksanaan kolektif manusia untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan berkeadilan.

Akhirnya, melalui Festival Budaya Lembah Balim dan tradisi perang adat Papua, kita diingatkan bahwa humanisme adalah nilai universal yang bisa muncul dalam berbagai bentuk di berbagai budaya. Ini adalah bukti bahwa di tengah keragaman budaya manusia, ada benang merah kemanusiaan yang mengikat kita semua. Mari kita rayakan keragaman ini sambil terus mencari dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal yang ada di dalamnya.

(Editor: Renaldo Tulak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *