Berita Papua, Jayapura — Sejumlah pakar dan pejabat terkait menggelar konferensi pers virtual bertajuk “Mendorong Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok demi Perlindungan Kesehatan Masyarakat Indonesia” pada Jumat, 20 September 2024. Acara ini membahas urgensi kenaikan cukai hasil tembakau untuk periode 2025-2026.
Dalam keterangan tertulis, konferensi ini dilatarbelakangi oleh tingginya prevalensi merokok di Indonesia, yang menempati posisi kedua tertinggi di dunia untuk perokok laki-laki dewasa (58,4%) dan urutan ke-23 tertinggi secara keseluruhan (31,0%).
Harga rokok yang relatif murah di Indonesia, rata-rata Rp44.485 per bungkus, jauh di bawah rata-rata dunia sebesar Rp89.900, dianggap sebagai faktor utama tingginya angka perokok.
Roosita Meilani Dewi, Direktur Center of Human and Economic Development, mengusulkan kenaikan cukai rokok minimal 25% per tahun secara merata untuk semua jenis rokok.
Sementara itu, Abdillah Ahsan, Pakar Cukai Rokok dan Akademisi Universitas Indonesia, menegaskan pentingnya dukungan pemangku kepentingan di daerah terhadap kenaikan harga rokok.
Dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, Ketua Udayana Central, memaparkan dampak konsumsi rokok terhadap kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Ia juga menegaskan pentingnya optimalisasi cukai dalam mengendalikan angka perokok di semua kalangan masyarakat.
Ifdhal Kasim, Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Pengendalian Tembakau, menyebut bahwa kenaikan pajak rokok berhubungan erat dengan Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Hery Chariansyah, Ketua Komisi Nasional Anak, mengatakan perlunya logika hukum dalam menyikapi upaya pengendalian tembakau, mengingat kebijakan yang ada belum maksimal dalam menekan prevalensi perokok anak.
Affan Fitrahman dari Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau sebagai langkah penting dalam melindungi generasi muda.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, menegaskan bahwa cukai merupakan instrumen penting dalam upaya pengendalian konsumsi, namun pemerintah masih memandang cukai sebagai sumber pendapatan daripada alat pengendalian.
Konferensi pers ini diharapkan dapat memberikan masukan berharga bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan strategi pengendalian tembakau yang efektif untuk periode 2025-2026.
(Redaksi)