Berita Papua, Jayapura — “Dalam pembentukan kabinet baru Pak Prabowo-Gibran kalau boleh ke depan di negara ini harus ada menteri yang mengatur masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia.”
Hal tersebut penegasan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Jayapura, Frits Maurits Felle di kediamannya di Sentani pada Selasa 6 Agustus 2024.
Sebab, Ia menekankan bahwa masyarakat adat bukan hanya ada di Papua, melainkan juga tersebar di seluruh pulau di Indonesia.
“Karena masyarakat adat bukan terdapat di Papua saja tetapi di seluruh pulau-pulau di Indonesia ada masyarakat hukum adat. Sementara ini masih dikoordinir oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),” ungkapnya.
Saat ini kata dia, urusan masyarakat adat masih tersebar di berbagai kementerian, termasuk Pendidikan, Kehutanan, PUPR, dan Pariwisata. Menurut aktivis ini, situasi ini sering menimbulkan kontradiksi hukum dan kebijakan.
“Di undang-undang menyatakan bahwa negara mengakui adanya masyarakat hukum adat dan kewenangannya. Tapi dalam pasal-pasal undang-undang kehutanan, tidak ada kewenangan sama sekali terhadap masyarakat adat,” jelasnya.
Ketua LMA mengusulkan agar kewenangan-kewenangan yang tersebar di berbagai kementerian ditarik dan disatukan dalam satu kementerian khusus.
“Ini supaya tidak terpecah-pecah dan ada payung hukum yang jelas,” tambahnya.
Ia juga menyoroti berbagai masalah yang dihadapi masyarakat adat, termasuk konflik dengan perusahaan dan persoalan pertanahan.
“Banyak masyarakat adat yang mengalami pengorbanan, penipuan oleh perusahaan yang bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional,” ungkapnya.
Dia juga menyarankan, untuk mengisi pos kementerian yang diusulkan orang yang berkompetisi di bidang masyarakat hukum adat.
“orang-orang profesional, profesor atau doktor yang bergerak di bidang antropologi atau masyarakat adat,” bebernya.
Frits Fele mengingatkan bahwa masyarakat adat sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk.
“Mereka punya hak, batas-batas tanah, dan pemerintahan sendiri sebelum undang-undang modern ada,” tegasnya.
Ia juga menyinggung UU Nomor 5 Tahun 1960 yang menurutnya merupakan modifikasi dari undang-undang Belanda.
“Undang-undang ini seharusnya mengakui hak-hak masyarakat adat, baik hak perorangan, sosial, maupun politik,” pungkasnya.
(Renaldo Tulak)