Berita

LBH Papua Kritik PT Freeport Indonesia: 58 Tahun Abaikan Hak Buruh dan Masyarakat Adat

0
×

LBH Papua Kritik PT Freeport Indonesia: 58 Tahun Abaikan Hak Buruh dan Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, SH, MH. (Foto: Facebook LBH Papua)

Berita Papua, Jayapura — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyoroti PT Freeport Indonesia yang dinilai tidak menghargai hak-hak buruh dan masyarakat adat Papua selama 58 tahun beroperasi.

Dalam keterangan pers tertulis bernomor 003/SP-LBH-Papua/IV/2025 yang diterima redaksi, Senin (7/4/2025), LBH menuntut pemerintah dan Komnas HAM RI mendesak Freeport memenuhi kewajiban sesuai Perpres No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM.

PT Freeport Indonesia mulai beroperasi pada 7 April 1967 melalui Kontrak Karya Pertama, yang ditandatangani pemerintah Indonesia di tengah status quo Papua di bawah PBB, LBH Papua menilai proses ini mengabaikan hak masyarakat adat Amungme sebagai pemilik wilayah. Masalah serupa terus berlanjut dalam revisi kontrak tahun 1991 dan 2017, meskipun pemerintah telah menguasai 51% saham dan membangun smelter di Gresik.

LBH Papua menyoroti nasib 8.300 buruh Freeport yang mogok kerja sejak 1 Mei 2017 hingga kini.

“Mereka kehilangan gaji pokok dan asuransi kesehatan sejak Juli 2017, menyebabkan krisis ekonomi keluarga, anak putus sekolah, hingga kematian buruh yang tak mampu berobat. Dinas Ketenagakerjaan Papua dan Mimika diduga menerima gratifikasi dari Freeport, sehingga dianggap tidak serius menangani kasus ini,” beber Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay.

Dalam keterangan pers tersebut LBH menegaskan Freeport melanggar Pasal 2 Perpres No. 60/2023, yang mewajibkan:

1. Pemerintah melindungi HAM dalam kegiatan usaha.

2. Perusahaan menghormati HAM.

3. Korban pelanggaran HAM mendapat pemulihan.

LBH Papua juga mengkritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berterima kasih kepada Freeport dalam peresmian smelter (17/3/2025), tanpa menyelesaikan persoalan buruh dan masyarakat adat.

LBH Papua mendesak:

1. Presiden RI dan Menkumham memastikan penyelesaian konflik buruh dan hak masyarakat adat.

2. Menteri Ketenagakerjaan memfasilitasi perundingan buruh-Freeport.

3. Komnas HAM RI mengawal pemenuhan HAM sesuai standar internasional.

4. Manajemen Freeport segera bayar upah buruh dan penuhi tanggung jawab sosial.

LBH juga mencatat dampak eksploitasi Freeport terhadap masyarakat Kamoro di bantaran Sungai Ajikwa, yang kehilangan sumber pangan akibat limbah tambang. Tidak ada kompensasi memadai, termasuk pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat adat.

LBH Papua menegaskan, selama 58 tahun, Freeport dan pemerintah gagal menjalankan mandat bisnis beretika.

“Ini bukti negara lebih melindungi korporasi daripada rakyatnya,” pungkas Emanuel Gobay.

(Redaksi)